Yayasan Griya Jati Rasa adalah Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Kreatifitas Bangsa untuk Keadilan dan Perdamaian dengan bidang kegiatannya melakukan pemberdayaan masyarakat, advokasi kebijakan dan pendampingan kelompok Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Yayasan Griya Jati Rasa dibentuk oleh Ibu Farsijana Adeney-Risakotta Ph.D, seorang intelektual, antropolog, teolog yang sekaligus bekerja di akar rumput dalam pemberdayan dan advokasi kebijakan publik yang berdampak kepada perempuan dan anak. Kegelisahannya terhadap berbagai persoalan konflik dan kekerasan dalam masyarakat di Indonesia maupun di dunia telah mengantarkan dirinya untuk berjanji tetap bersama dengan rakyat di Indonesia. Liberalisasi ekonomi yang tidak terbendungkan langsung dirasakan oleh masyarakat kecil di tingkat pedesaan memberikan kesempatan kepadanya untuk memikirkan bentuk penelitian, pemberdayaan dan pengajaran yang pro rakyat.
Semangat ekonomi yang berasaskan Pancasila merupakan benteng pertahanan terakhir dalam pengarusutamaan ekonomi kerakyatan berbasis pelestarian lingkungan hidup. Melalui UU Nomor 6 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Desa, masyarakat di pedesaan dipersiapkan untuk menghadapi globalisasi. Nilai-nilai budaya sebagai aset bangsa perlu dipelihara sekaligus dimaknai sejalan dengan perubahan sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat sendiri. Kebijakan lokal menjadi pintu masuk dalam mendalami kekuatan dan keunikan jati diri bangsa. Berbagai pengetahuan yang sudah dimiliki masyarakat, di bidang pangan, sandang dan pengolahan tata ruang, aneka kerajinan perlu disesuaikan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong partisipasi rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.
Ketika rakyat mengalami stagnasi sehingga kehilangan daya juang untuk mencipta karya maka mereka perlu diberdayakan untuk mengerti proses produksi. Kewirausahaan rakyat perlu dibangun berbarengan dengan penguatan kreatifitas pengolahan potensi lokal yang berasas kemandirian sekaligus kegotongroyongan. Karena itu, Yayasan Griya Jati Rasa membentuk dua lembaga turunan untuk mengakomodasikan pembangunan ekonomi hijau di Indonesia di mana warga masyarakat yang berkelompok adalah pelaku itu sendiri. Kedua lembaga yang dilahirkan oleh Yayasan Griya Jati Rasa adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan Koperasi Pemasaran Griya Jati Rasa. Peluncuran Griya Jati Rasa di dunia maya dilakukan pada tanggal 21 September 2014 pada hari Perdamaian Internasional melalui publikasi (griyajatirasa.blogspot.co.id). Peluncuran kantor Griya Jati Rasa dilakukan pada tanggal 8 November 2014. Sedangkan hari kelahiran Yayasan Griya Jati Rasa pada tanggal 28 Maret 2015 disesuaikan dengan tanggal pembuatan Akte Notaris (Nomor 105 Tanggal 28 Maret 2015, Notaris Suastutiningsih S.H).
Makna filosofi dari nama Griya Jati Rasa dijelaskan Ibu Farsijana Adeney-Risakotta, Ph.D selaku pendiri Yayasan. Indonesia adalah suatu keluarga di mana orang-orang dari berbagai latar belakang suku, agama, status sosial, gender tinggal bersama. Yogyakarta adalah propinsi yang sudah sangat beragam dihidupi oleh berbagai orang dari seluruh Indonesia datang untuk belajar dan kemudian menetap di sini. Perubahan sosial yang mendalam terjadi di Yogyakarta, menyebabkan dirinya sebagai Griya harus terus menerus menemukan kembali makna dan fungsinya. Kata Jati Rasa diambil dari nama rumah kuno, “Pondok Jati Rasa” yang dibangun oleh simbah buyut ibu Farsijana, yang didirikan di desa Taji, Prambanan pada tahun 1822. Rumah berbentuk limasan ini dipindahkan ke Alas Wegode, di Dusun Gabug, Desa Giri Cahyo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, di atas tebing menghadap ke lautan selatan, pada tanggal 26 Juli 2004. Ibu Farsijana menyebut rumah pusaka ini, Pondok Jati Rasa.
Asal usul pemberian nama Jati Rasa diawali oleh pengamatan bu Farsijana yang memperhatikan pohon Jati sebenarnya bertumbuh dengan bantuan dari rayap. Rayap-rayap memakan bagian luar dari batang pohon yang hidup untuk membesarkan pohon tersebut dengan membiarkan bagian intinya berkembang menjadi matang dan kuat. Pengamatan ini memberikan pengertian kepada ibu Farsijana tentang makna kata jati diri yang diambil dari perilaku alam dalam mematangkan inti pohon jati. Manusiapun berkembang menemukan sejati dirinya, inti dirinya yang kuat berakar pada pemahaman sejarah diri, keluarga, agama, etnis, dan bangsa yang memutuskan untuk hidup bersama di alam persada Indonesia yang permai.
Penguatan sejati diri manusia dilakukan melalui penggunaan rasa. Kata “rasa” penting dalam kehidupan ibu Farsijana karena rumahnya di Sleman diberikan nama “Pondok Tali Rasa”. Kata “rasa” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang mendalam terkait dengan penggunaan lima indra manusia. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari merasa, mengalami, mecicipi, melihat, mencium, menyentuh yang menghadirkan pengalaman integral tentang kedirian sejati seorang manusia. Pemberdayaan “rasa” sebagai mental pemikiran manusia Indonesia perlu dilakukan secara berbudaya dan beradab sampai sejati diri sendiri mampu terhubungkan dengan sejati diri lainnya dalam semesta ini. Melatih rasa untuk berinteraksi dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal terutama dalam membangun kebiasaan bekerjasama sebagai seorang anak manusia di tengah keluarga, masyarakat dan bangsa.
Yayasan Griya Jati Rasa dibentuk oleh Ibu Farsijana Adeney-Risakotta Ph.D, seorang intelektual, antropolog, teolog yang sekaligus bekerja di akar rumput dalam pemberdayan dan advokasi kebijakan publik yang berdampak kepada perempuan dan anak.
Yayasan Griya Jati Rasa dalam membangun pemikiran, konsep dan tindakan mengandung makna, pesan, semangat secara tersirat maupun tersurat tercermin dalam nilai-nilai sebagai berikut:
Yayasan Griya Jati Rasa dalam membangun pemikiran, konsep dan tindakan mengandung makna, pesan, semangat secara tersirat maupun tersurat tercermin dalam nilai-nilai sebagai berikut: